PERJANJIAN FIR DAN MTA INDONESIA-SINGAPURA
1.
Landasan
Hukum Udara Internasional
a.
Konvensi
Paris 1919
Konvensi Paris 13 Oktober 1919 merupakan konvensi
internasional yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris yang
diikuti oleh 27 negara yang terdiri dari negaranegara sekutu, dan Amerika
Latin. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 dan merupakan
konvensi pertama mengenai pengaturan internasional secara umum mengenai
penerbangan udara. Konvensi Paris ini dijalankan hanya dengan negaranegara
yang menang Perang Dunia I dan negara yang merupakan bekas musuh hanya dapat
menjadi negara pihak, itupun setelah terdaftar menjadi keanggotaan Liga
BangsaBangsa (LBB) atau atas keputusan 3 atau 4 negara anggota pada konvensi.
Namun, pada tahun 1929 setelah direvisi dengan Protokol 15 Juli 1929 yang
bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris
benarbenar menjadi konvensi yang bersifat umum karena sejak berlakunya
Protokol tersebut tahun 1933, terdapat 53 negara telah menjadi pihak.
1)
Rejim Udara
Menurut pasal 1 konvensi, kedaulatan penuh dan ekslusif negara-negara anggota
terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Kedaulatan ini terbatas oleh
batasbatas wilayah negara tersebut, yaitu di mana suatu negara mempunyai
kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayah negaranya saja dan kedaulatan ini
tidak berlaku di wilayah luar negara tersebut. Sehingga, suatu negara hanya
dapat melaksanakan kedaulatannya secara penuh hanya dalam wilayahnya. Kedaulatan
teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang terdiri atas daratan,
termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas
permukaan tanah tersebut, laut dan udara. Selain itu, pada pasal 2 konvensi
setiap negara memperbolehkan untuk memutuskan hak lintas pesawat udara negara
lain melintas di atas wilayahnya sesuai syaratsyarat yang dimuat dalam konvensi
dan setiap negara boleh membatasi perlintasan di atas wilayahnya dengan alasan
militer atau kepentingan keamanan publik. Dan pada pasal 3 konvensi mengizinkan
pada setiap negara untuk melarang penerbangan pesawat-pesawat asing ataupun
nasional di zonazona tertentu di wilayahnya. Konvensi Paris 1919 juga
membentuk Komisi Internasional yaitu suatu organisasi untuk mengawasi
pelaksanaan dan pengembangan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam
konvensi.
2)
Rejim
Pesawat Udara Menurut konvensi Paris 1919, sistem setiap pesawat udara agar
mendapatkan izin penerbangan harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Sistem
ini sesuai dengan logika konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan
negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar
konvensional.
Dalam perkembangannya, Konvensi Paris 1919 banyak
terjadi perubahan terhadap konvensi ini, dimulai dengan Protokol Tambahan
tanggal 1 Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir
dengan Protokol 15 Juni 1929. Selain itu, Jerman juga mengajukan perubahan
terhadap ketentuanketentuan yang telah ada yang dilakukan oleh Komisi
Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 1015 Juni 1929.[1]
b.
Konvensi
Chicago 1944
Konvensi
Chicago merupakan konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil
internasional. Konvensi ini merupakan revisi dari konvensi Paris 1919, karena
disebutkan kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris merupakan hasil konvensi
internasional yang diberikan kepada negaranegara penandatanganan konvensi.
Konvensi Chicago ini diadakan di Chicago atas undangan Amerika Serikat dan
dihadiri oleh 53 negara (tanpa Uni Soviet) pada tanggal 1 November7 Desember
1944. Konvensi ini mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Pada pasal 9 konvensi
Chicago 1944 mengatur tentang area terlarang, yang merupakan modifikasi dari
Konvensi Paris.[2]
Konvensi Chicago merupakan sumber hukum
dalam hal penerbangan internasional, konvensi ini ditandatangani di Kota
Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 yang terdiri dari 96 Artikel.
1)
Bab 1 mengatur tentang prinsipprinsip
umum dan penerapan konvensi
2)
Bab 2 mengatur tentang hak melintas (flight over territory)
3)
Bab 3 mengatur tentang kebangsaan
pesawat (nationality of aircraft)
4)
Bab 4 mengatur tentang fasilitas
navigasi udara
5)
Bab 5 dan 6 mengatur tentang standar
internasional
6)
Bab 7 sampai 13 mengatur tentang
struktur organisasi ICAO
7)
Bab 14 tentang transportasi udara
internasional (meliputi bandara dan fasilitas navigasi udara)
Dalam
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menegaskan “the
contracting parties recognize that every sovereign state has complete and
exclusive sovereignity over the airspace above its territory”. Konsekuensi
prinsip kedaulatan di udara tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang
terbang di atau ke atau melalui ruang udara nasional negara anggota tanpa memperoleh
izin terlebih dahulu, berapa pun tinggi atau rendahnya pesawat udara melakukan
penerbangan. Di samping itu, berdasarkan prinsip kedaulatan di udara tersebut,
pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat udara, penumpangnya tetap harus
mematuhi hukum dan regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut
melakukan penerbangan.
Lingkup
yuridiksi teritorial suatu negara berdasarkan Konvensi Chicago 1944 adalah
batas ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah pusat bumi, sepanjang dapat
dieksploitasi. Secara hukum internasional (khususnya hukum udara) dan berlandaskan
kepada doktrin kedaulatan, setiap negara berhak mengatur segala sesuatunya yang
berkaitan dengan keamanan negaranya, keamanan penerbangan bagi setiap
penerbangan udara di wilayahnya (Pasal 12 Konvensi Chicago 1944), karena
memberi izin kepada pesawat udara asing di wilayah udara nasional membawa
akibat beban dan kewajiban kepada si pemberi izin agar yang memberi formalitas
tadi dapat menikmatinya secara nyaman.[3]
A.
Kendali
Udara Singapura di Indonesia
1.
Negara
Singapura
Singapura
terdiri dari 63 pulau, termasuk daratan Singapura. Pulau utama sering disebut
Pulau Singapura tetapi secara resmi disebut Pulau Ujong (Melayu: berarti pulau
di ujung daratan (semenanjung). Terdapat dua jembatan buatan menuju Johor,
Malaysia: Johor–Singapore Causeway di
utara, dan Tuas Second Link di barat.
Pulau Jurong, Pulau Tekong, Pulau Ubin dan Pulau Sentosa adalah yang terbesar
dari beberapa pulau kecil di Singapura. Titik alami tertinggi adalah Bukit
Timah Hill dengan tinggi 166 m (545
ft). Singapura memiliki banyak proyek reklamasi tanah dengan tanah diperoleh
dari bukit, dasar laut, dan negara tetangga. Hasilnya, daratan Singapura meluas
dari 5,815 km2 (2,245.2 sq mi) pada 1960-an menjadi 704 km2 (271.8 sq mi) pada
hari ini, dan akan meluas lagi hingga 100 km2 (38.6 sq mi) pada 2030.
Singapura adalah hub penerbangan untuk
kawasan Asia Tenggara dan perhentian untuk rute Kangguru antara Australasia dan
Eropa. Bandar Udara Changi Singapura memiliki jaringan seluas 80 maskapai
penerbangan yang menghubungkan Singapura ke 200 kota di 68 negara. Bandara ini
telah dimasukkan sebagai salah satu bandara internasional terbaik oleh berbagai
majalah perjalanan internasional, termasuk sebagai bandara terbaik di dunia
untuk pertama kalinya oleh Skytrax pada tahun 2006. Bandar Udara Changi saat
ini memiliki tiga terminal penumpang. Terdapat juga sebuah terminal bertarif
rendah, yang melayani maskapai bertarif rendah Tiger Airways dan Cebu Pacific. Maskapai penerbangan nasionalnya ialah Singapore Airlines (SIA), maskapai yang
paling banyak mendapatkan penghargaan di dunia. Bandar Udara Changi Singapura
diswastanisasikan pada tahun 2009 dan saat ini dimiliki sepenuhnya oleh Changi
Airport Group.[4]
Meski ukurannya
kecil, Singapura memiliki salah satu pasukan militer paling maju di Asia
Tenggara. Kementerian Pertahanan yang saat ini dipimpin oleh Menteri Teo Chee
Hean, mengawasi Angkatan Darat Singapura, Angkatan Laut Republik Singapura dan
Angkatan Udara Republik Singapura yang seluruhnya disebut sebagai Angkatan
Bersenjata Singapura, bersama perusahaan relawan swasta sebagai pembantu.
Kepala Pasukan Pertahanan Singapura adalah Letnan Jenderal Neo Kian Hong. Kekuatan
Udara Singapura, yaitu:
a.
Pesawat serbu: F-15SG, AH-64D
b.
Pesawat tempur: F-16C/D
c.
Pesawat penyergap: F-5S/T
d.
Pesawat patroli: E-2C, G550 AEW&C,
Fokker 50 ME2
e.
Pesawat pengintai: RF-5S
f.
Pesawat latih: M346, PC-21, TA-4SU,
EC120
g.
Pesawat pengangkut: KC-130B &
C-130H, Fokker 50 UTL, KC-135R, CH-47D/SD, Super Puma.[5]
2.
Kontrol
Lalu Lintas Udara (Air Traffic Control)
Bila
ditarik ke belakang, sejarah air traffic
control mungkin dimulai 2 dekade setelah Wright bersaudara menemukan
pesawat pada tahun 1903. Tidak lama setelah Perang Dunia Pertama (PD I)
berakhir orang mulai menyadari bahwa pesawat terbang memiliki potensi
keuntungan dan komersial. Pada saat inilah beberapa perusahaan penerbangan
komersial terbentuk. Pada akhir tahun 1920, telah terdapat beberapa perusahaan
penerbangan komersial di Eropa seperti KLM di Belanda, dua perusahaan
penerbangan Perancis, satu di Belgia, dan delapan di Inggris.
Tahun
1922 setelah terjadi minor collision
di Bandara Croydon, London, pihak Directorate General of Civil Aviation (DGCA)
Inggris mengeluarkan NOTAM 62/1922 yang isinya memberitahukan kepada Pilot yang
akan berangkat untuk mendapat urutan keberangkatan dan sinyal sebagai izin take off dari ‘controller’. Sinyal ini adalah lambaian bendera merah. Segera
setelah ditemukan bahwa bendera ini tidak dapat terlihat pada beberapa tempat
di Croydon karena memiliki slope
miring pada satu sisi, posisi bendera ini dipindahkan ke salah satu balkon pada
gedung tertinggi. Pada bulan Juli 1922 di Croydon dibangun sebuah tempat
observasi yang sekelilingnya bermaterial kaca. Bangunan ini sebenarnya
dimaksudkan untuk menguji arah peralatan komunikasi nirkabel. Selanjutnya, ‘tower’ ini menjadi pusat komunikasi bagi
seluruh penerbangan di bandara Croydon. Sang operator menusukkan pin pada peta
yang tersedia tidak lama setelah menerima laporan posisi pesawat dan
berdasarkan perhitungannya sendiri, menjalankan pin tersebut sesuai dengan rute
pesawat yang bersangkutan.
Apabila
diperkirakan dua pesawat akan saling melewati, sang operator akan
menginformasikan hal tersebut kepada pilot. Inilah lahirnya ‘Advisory Service’ yang pertama.
Selanjutnya pada NOTAM 109/1924 mengenai peraturan untuk take off berbunyi “When the
aircraft is visible from the control tower, permission to depart will be given
from the tower…”. Inilah pertama kali terminologi control tower dipakai. Pada tahun 1926 sistem pengendalian lalu
lintas udara mendapat nama baru yaitu Wireless
Traffic Control dan petugasnya disebut Control
Officers. Mulai saat itu terminologi ‘control’
secara resmi digunakan, tetapi hubungan Pilot/Controller masih berupa gentlements
agreements. Hal ini berubah pada tahun 1927 saat disepakati bahwa controller tidak hanya memberi informasi
pada pilot mengenai keberadaan traffic
lain, tetapi berhak memberikan arah terbang (direction) untuk menghindari traffic lawan.
Berikut
ini adalah tujuan pelayanan lalu lintas udara yang diberikan oleh ATC
berdasarkan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 170:
a.
Mencegah tabrakan antarpesawat
b.
Mencegah tabrakan antarpesawat di area
pergerakan rintangan di area tersebut
c.
Mempercepat dan mempertahankan
pergerakan lalu lintas udara
d.
Memberikan saran dan informasi yang
berguna untuk keselamatan dan efisiensi pengaturan lalu lintas udara
e.
Memberitahukan kepada organisasi yang
berwenang dalam pencarian pesawat yang memerlukan pencarian dan pertolongan
sesuai dengan organisasi yang dipersyaratkan
Atau disebut
dengan istilah 5 objective of ATS
dalam dokumen ICAO Annex 11 tentang Air
Traffic Service:
a.
Prevent
collisions between aircraft
b.
Prevent
collisions between aircraft on the manoeuvring area and obstructions on that
area
c.
Expedite
and maintain an orderly flow of air traffic
d.
Provide
advice and information useful for the safe and efficient conduct of flights
e.
Notify
appropriate organizations regarding aircraft in need of search and rescue aid,
and assist such organizations as required [6]
Sesuai
dengan tujuan pemberian Air Traffic
Services, Annex 11, International
Civil Aviation Organization (ICAO), 1998, Pelayanan Lalu Lintas Udara
terdiri dari 3 (tiga) layanan, yaitu:
a.
Pelayanan Pengendalian Lalu Lintas Udara
(Air traffic control service), pada
ruang udara terkontrol/Controlled
Airspace terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1)
Aerodrome
Control Service
Memberikan
layanan Air Traffic Control Service, Flight Information Service, dan Alerting Service yang diperuntukkan bagi
pesawat terbang yang beroperasi atau berada di bandar udara dan sekitarnya (vicinity of aerodrome) seperti take off, landing, taxiing, dan
yang berada di kawasan manoeuvring area,
yang dilakukan di menara pengawas (control
tower). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini disebut Aerodrome Control Tower (ADC).
2)
Approach
Control Service
Memberikan
layanan Air Traffic Control Service, Flight Information Service, dan Alerting Service, yang diberikan kepada
pesawat yang berada di ruang udara sekitar bandar udara, baik yang sedang
melakukan pendekatan maupun yang baru berangkat, terutama bagi penerbangan yang
beroperasi terbang instrumen yaitu suatu penerbangan yang mengikuti aturan
penerbangan instrumen atau dikenal dengan Instrument
Flight Rule (IFR). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini
disebut Approach Control Office
(APP).
3)
Area
Control Service
Memberikan layanan Air Traffic Control Service, Flight
Information Service, dan Alerting
Service, yang diberikan kepada penerbang yang sedang menjelajah (en-route flight) terutama yang termasuk
penerbangan terkontrol (controlled
flights). Unit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan ini disebut Area Control Centre (ACC).
b.
Pelayanan Informasi Penerbangan (Flight Information Service)
Flight
Information Service adalah pelayanan yang dilakukan dengan
memberikan berita dan informasi yang berguna dan bermanfaat untuk keselamatan,
keamanan, dan efisiensi bagi penerbangan.
c.
Pelayanan keadaan darurat (Alerting Service)
Pelayanan
keadaan darurat adalah pelayanan yang dilakukan dengan memberitahukan instansi
terkait yang tepat, mengenai pesawat udara yang membutuhkan pertolongan search and rescue unit dan membantu
instansi tersebut, apabila diperlukan.[7]
3.
Perjanjian
Ruang Udara Indonesia-Singapura
a.
Flight Information Region (FIR)
Dalam
penerbangan, wilayah informasi penerbangan atau Flight Information Region (FIR) adalah wilayah ruang udara tertentu
yang menyediakan layanan informasi penerbangan dan layanan peringatan. FIR
adalah pembagian ruang udara terbesar yang masih digunakan saat ini. FIR sudah
ada sejak 1947. Setiap bagian atmosfer Bumi adalah bagian dari sebuah FIR.
Ruang udara negara-negara kecil dicakup oleh satu FIR, ruang udara
negara-negara besar dibagi lagi menjadi beberapa FIR regional.
Sejumlah
FIR melintasi ruang udara darat beberapa negara. Ruang udara laut dibagi
menjadi Wilayah Informasi Laut (Oceanic
Information Region) dan diserahkan kepada otoritas pengendali yang paling
dekat dengan wilayah itu. Pembagian wilayah dilakukan melalui perjanjian
internasional lewat International Civil
Aviation Organization (ICAO). Tidak ada ukuran standar untuk FIR. FIR itu
urusan administratif negara yang dicakupnya. Kadang-kadang ada pembagian FIR
vertikal yang ruang udara bawahnya tidak berubah nama, namun ruang udara di
atasnya diberi nama Wilayah Informasi Atas.
Layanan
informasi dan peringatan merupakan layanan lalu lintas udara paling dasar,
menyediakan informasi yang penting untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan
dan memperingatkan otoritas terdekat seandainya ada pesawat yang mengalami
kondisi darurat. Layanan ini tersedia untuk semua pesawat melalui FIR. Layanan
saran dan pengawas lalu lintas udara yang lebih tinggi tersedia di ruang udara
tertentu di dalam FIR atau kelas bagian ruang udara menurut ICAO (sesuai peraturan
nasional). Layanan tersebut disediakan oleh otoritas yang cocok dan peralatannya
lengkap.[8]
Pengendalian
lalu lintas udara di dua wilayah FIR (Flight
Information Region), yakni FIR Jakarta dan FIR Makassar, dibantu FIR Singapura
untuk sektor A, B dan C (wilayah di atas Batam, Matak dan Natuna) yang diratifikasi
Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1996. Untuk sektor A, Indonesia mendelegasikan
tanggung jawab pelayanan navigasi dari permukaan laut hingga ketinggian 37 ribu
kaki. Di sektor B, pendelegasian
meliputi pemukaan laut hingga ketinggian tak terbatas. Sektor C, ditetapkan
sebagai wilayah abu-abu (tidak termasuk dalam perjanjian, karena masih terkait
persoalan perbatasan dengan Malaysia). Di sektor A, FIR Singapura mendapat
mandat untuk mengutip jasa navigasi penerbangan sipil Route Air Navigation Services (RANS) atas nama pemerintah
Indonesia, untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. untuk
wilayah sektor B dan C tidak dikenai
RANS Charge karena masih
membutuhkan pembahasan lebih lanjut dengan berbagai pihak.
Awal
diserahkannya kontrol FIR Indonesia kepada Singapura, pada saat pertemuan ICAO,
Maret tahun 1946 di Dublin, Irlandia. Karena saat itu Indonesia baru merdeka
sehingga tidak hadir pada pertemuan tersebut. Dasar hukum diserahkannya
pengendalian sebagian wilayah udara Indonesia pada Singapura, yakni Annex 11 Konvensi
Chicago 1944, tentang Air Traffic
Services – Air Traffic Control
Service, Flight Information Service
and Alerting Service; dan Pasal 28
Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa “Each
contracting state understake, so far as it may practicable to:
1)
Provide,
in its territory, airports, radio services, meteorological services and other
air navigation facilitate international air navigation, in accordance with the
standards and practies recommended or established from time to time, pursuant
to this convention
2)
Adopt
and put into operation the appropriate standard systems of communications
procedure, codes, markings, signals, lighting and other operational practices
and rules which may be recommended or established from time to time, pursuant
to this Convention
3)
Collaborate
in international measures to secure the publication of aeronautical maps and
charts in accordance with standards which may be recommended or established
from time to time, pursuant to this convention.

Gambar
1 Peta Area Flight Information Region
FIR Singapura,
berdasarkan pada persetujuan antara pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Singapura tentang Penataan Kembali Batas Penerbangan Region/FIR Singapura dan
FIR Jakarta pada tanggal 21 September 1995 pasal 2 yang menyatakan bahwa:
Kontrol delegasi Indonesia di wilayah udara Kepulauan Riau dilakukan oleh
Singapura (pada saat itu hanya disebut Natuna). Persetujuan bilateral ini
berakhir setelah 5 tahun. Jika dihitung persetujuan Indonesia-Singapura
tersebut berakhir pada 21 September 2000, tetapi sampai sekarang wilayah udara
Indonesia di atas kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura.[9]
a.
Military Training Agreement (MTA)
Military
Training Agreement (MTA) adalah kerja sama militer antara
Indonesia dan Singapura yang dibuat untuk penggunaan beberapa wilayah udara
Indonesia di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Perjanjian ini merupakan wujud
kerjasama yang bersifat mutualisme, dimana Indonesia memiliki wilayah yang luas
memberikan kewenangan kepada Singapura untuk digunakan sebagai tempat latihan
militer dan Singapura sebagai leader di
bidang ekonomi maupun persenjataan militer dengan kemajuan teknologinya akan
memberikan bantuan baik pelatihan personel militer ataupun pembangunan sarana
dan prasarana latihan militer bagi Indonesia.
Semenjak
tanggal 21 September 1995, dengan ditandatanganinya agreement antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menhankam
RI kala itu yaitu Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat dan pemerintah Singapura
yang diwakili oleh menteri pertahanannya kala itu, Dr. Tony Tan, maka Indonesia
telah dengan sah secara hukum menyerahkan sebagian dari wilayah kedaulatanya
untuk digunakan sebagai daerah latihan militer oleh militer Republic of Singapore.
Namun,
dalam beberapa kesempatan perpanjangan perjanjian ini, TNI AU banyak disalahkan
karena dilihat banyak memihak Singapura, sedangkan TNI AD dan AL yang notabene
tidak banyak menikmati hasil dari kerjasama ini menjadi oposisi yang sangat
menentang dilanjutkanya perjanjian ini. Banyak hal yang membuat TNI AU sedikit
lebih lunak dibandingkan dengan kedua saudara matranya. Salah satu sebabnya
adalah peran Singapura yang sangat vital dalam mendukung keberlangsungan suku
cadang pesawat-pesawat tempur TNI AU yang dilanda krisis suku cadang akibat
embargo yang dilancarkan Amerika. Selain itu TNI AU juga sangat terbantu dengan
pembangunan sarana dan prasarana yang telah dibangun oleh Singapura di
Indonesia seperti fasilitas ACMR (Air
Combat Maneuver Range) di Pangkalan Udara Pekanbaru. Fasilitas ini sangat
diperlukan bagi penerbang-penerbang tempur TNI AU dalam melaksanakan latihan
pertempuran udara modern.
Sesuai perjanjiannya, MTA ini akan
diperbaharui setelah 5 tahun atau berakhir pada tahun 2001 yang lalu namun
masih diperpanjang hingga 2006. Setelah itu upaya perpanjangan perjanjian
tersebut terus diupayakan oleh Singapura namun mendapat banyak tentangan dari
Indonesia yang menuntut memasukan masalah ekstradisi para koruptor yang
melarikan uang Negara ke Singapura kedalam perjanjian baru, yaitu DCA (Defence Cooperation Agreement) yang juga
membahas masalah MTA ini. Perjanjian ini beku dan yang tersisa adalah
perjanjian pengontrolan sebagian wilayah udara Indonesia (area Bravo dan Alfa)
oleh controller Singapura (Changi Airport) yang merupakan international hub.[10]
Sejak
itu, Singapura berhak menggunakan dua wilayah udara Indonesia untuk kepentingan
militer mereka, yakni MTA 1 dan MTA 2. MTA 1 membentang dari barat daya
Singapura hingga Tanjungpinang dan utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Di utara
Bintan itulah Ketut sering melihat pesawat-pesawat tempur Singapura berlatih
hingga kini ketika masa berlaku MTA telah habis. Sementara MTA 2 membentang
mulai timur Singapura sampai Kepulauan Natuna yang juga masuk Kepulauan Riau.
Di MTA 1, Singapura dapat menerbangkan 15 pesawat tempur per hari. Dalam jangka
waktu 24 jam, jumlah penerbangan Angkatan Udara negara itu tak boleh lebih dari
40. Di MTA 2, Singapura tidak boleh menerbangkan lebih dari 20 pesawat tempur
per hari. Jumlah penerbangan dibatasi 60 kali dalam 24 jam.
Perjanjian
MTA ini memiliki dua aturan penting lain. Pasal 3 mengatur, pesawat tempur
Singapura yang masuk ke dua area militer itu akan diatur oleh ATC Singapura.
Sementara Pasal 5 mengatur kesepakatan ini hanya berlaku selama lima tahun.
Saat kesepakatan MTA berakhir tahun 2001, Soeharto tak lagi menjabat.
Kelanjutan MTA pun jadi abu-abu. Ini yang jadi pangkal persoalan perang urat
saraf Indonesia-Singapura di udara. Enam tahun kemudian, April 2007 bertempat
di Tampaksiring, Bali, Indonesia dan Singapura kembali membuat kesepakatan
hampir serupa. Kali ini diberi nama Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau DCA (Defence Cooperation Agreement).
b.
Defence Cooperation Agreement (DCA)
Defence
Cooperation Agreement adalah kerjasama di bidang pertahanan
dan keamanan yang dilakukan oleh Indonesia dan Singapura. Kerjasama ini juga
merupakan wujud dari kepentingan Singapura yang membutuhkan wilayah untuk
melatih militernya. DCA ini muncul ketika Indonesia mendesak Singapura untuk
meratifikasi Perjanjian Ekstradisi yang sudah diinginkan oleh Indonesia sejak
30 tahun. Seperti yang kita ketahui, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia
dengan Singapura sudah ditandatangani sejak 27 April 2007 yang lalu. Namun,
Singapura masih belum bersedia untuk meratifikasi, dan juga terkesan menunda-nunda
proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi tersebut. Isi Perjanjian Pertahanan dan
Kemananan (Defence Cooperation Agreement)
ini adalah sebagai berikut:
1.
Singapura
menentukan sendiri wilayah Indonesia mana yang menjadi tempat latihan bersama
antara Indonesia dengan Singapura
2.
Singapura
seringkali melanggar batas wilayah yang sudah ditetapkan oleh Indonesia dalam
Perjanjian Pertahanan dan Keamanan antar kedua negara
3.
Singapura
melibatkan pihak ketiga dalam latihan militernya di wilayah kedaulatan
Indonesia tanpa izin dari pihak Indonesia
4.
Perjanian
Pertananan dan Kemananan ini menurut pihak Indonesia terlalu lama masa
perjanjiannya yaitu selama 25 tahun kedepan. [11]
Perjanjian
Kerja Sama Pertahanan atau DCA (Defence
Cooperation Agreement). Saat itu Indonesia diwakili oleh Menteri Pertahanan
Juwono Sudarsono dan Singapura oleh Menteri Pertahanan Teo Chee Hean. DCA
mengatur lebih banyak hal dibanding MTA. Perjanjian baru ini mengikat kedua
negara pada enam ruang lingkup, salah satunya mengatur akses bersama pada
wilayah dan fasilitas latihan tempur tertentu. Pasal
3 huruf b DCA menyatakan, Indonesia akan mengizinkan Angkatan Udara Singapura
untuk melaksanakan pengecekan teknis dan kelaikan terbang, serta berlatih
terbang di wilayah udara Indonesia yang disebut Alpha Satu.
Pesawat
tempur Singapura juga diizinkan berlatih di wilayah Indonesia yang disebut
Alpha Dua. Kapal perang Singapura bahkan diperbolehkan melakukan manuver laut
dan berlatih dengan peluru tajam di kedua area tersebut, termasuk di wilayah
yang disebut Area Bravo. Selain itu, Angkatan Laut Singapura diizinkan
melakukan latihan tembak dengan peluru kendali sebanyak empat kali dalam
setahun di Area Bravo. Semua itu dapat dilakukan Singapura jika telah mendapat
persetujuan Tentara Nasional Indonesia.
Gambar
4 Peta Area Defence Cooperation Agreement
Empat
bulan usai pertemuan pemerintah RI dan Singapura soal DCA ini, mantan Kepala
Staf Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Chappy Hakim mengemukakan
kekhawatirannya. Ia mengungkit kerugian Indonesia ketika MTA diterapkan. Menurut
Chappy, MTA saja kerap mengganggu penerbangan domestik RI, sebab wilayah udara
yang mestinya dapat dilintasi pesawat-pesawat Indonesia jadi digunakan
Singapura untuk berlatih militer. Akibatnya pesawat sipil harus mencari jalan
memutar lebih jauh. Kerugian dirasa akan lebih banyak jika DCA diratifikasi
Indonesia. Pada akhirnya DCA urung diimplementasikan karena Dewan Perwakilan
Rakyat selaku lembaga legislatif RI serta menolak untuk meratifikasinya.
Berdasarkan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, ratifikasi perjanjian internasional harus melalui DPR. DPR
menganggap Singapura terlalu banyak diuntungkan dengan hak-hak istimewa yang
diberikan Indonesia.[12]